Chronometer:
- Senin, 6 Februari 2012. 17.30 WIB
- Hari yang Cerah
- Lokasi: Private Room
Aku menghempaskan badan di kasur sambil menikmati
timbunan asam laktat di sela-sela seluruh ototku.
Kupejamkan mata sejenak guna merelaksasikan
syaraf-syaraf mata dan otak yang kueksploitasi seharian untuk menerjemahkan
gemulai grafik penjualan perusahaan yang tinggal landas.
…
*tring tring!!*
Bunyi Blackberry Messager® (BBM)
menarikku kembali dari alam bawah sadar. Kugapai Blackberry (BB) yang kuletakan
di meja kecil di sebelah kasurku sambil beranjak duduk dan membaca isi BBM yang
masuk.
Ternyata dari Mas Seto (nama disamarkan),
seorang sahabat yang berdomisili di Surabaya.
Beliau berusia 8 tahun lebih tua dariku, dan baru saja di-PHK dari perusahaan
tempat ia bekerja. Belakangan ini kami sering berdiskusi berbagai macam hal.
Salah satunya mengenai hakikat diri dan kehidupan.
Percakapan
aku sesuaikan dari bahasa BBM aslinya (tidak disingkat-singkat dan tulisan dibuat
normal), agar mudah dibaca.
Mas Seto : Chaq dimana?
Aku : Di kamar,
mas.
Mas Seto :
Aku pengen ngancurin kantorku yang kemarin sampai bangkrut. Kira-kira gimana
menurut kamu?
Aku terdiam sejenak dan mengernyitkan dahi.
Bagiku agak ajaib pernyataan sekaligus pernyataan dia.
Aku : Mas sudah
tahu jawabanku apa.
Mas Seto : Hm…Terus
bagaimana enaknya?
Aku : Kenapa
power ga digunakan utuk sesuatu yang lebih membangun?
Mas Seto : Hm…Gitu ya?
Oke…oke…
Aku :
Aku rasa menghancurkan itu mudah mas. Kalau jalan seperti ini aku tempuh, Ditya
dari kemarin sudah saya habisi. Sekalipun aku tidak dapat menggunakan cara-cara
supranatural.
Mas Seto :
Intinya kamu mau bicara bahasa lain, “lupakan yang sudah-sudah dan lihat ke
depannya, gitu khan?
Aku :
Aku berfikir, ketika suatu bulldozer menghancurkan gedung hanya dalam 1 jam
saja. Tapi membangunnya kembali butuh waktu lebih dari 1 bulan.
Mas Seto : ya ya ya
ya…Aku lagi suntuk soalnya. Maap, maap, maap…
Aku :
Saya lebih memilih membangun ketimbang menghancurkan.
Mas Seto :
Jadi kita-kita ini dilarang “nge-kick”
balik orang ya? Sampai kapan kita diam saja?
Aku :
Kita ini cuma diminta menjadi messager koq, mas. Singkatnya “dakwatullah”. Kita
diperbolehkan membalas, asal setimpal. Tapi who-knows
yang kita balas akan setimpal atau tidak.
Sempat beberapa waktu yang lalu aku demikian kesal dan marah kepada
mantan atasanku atas perlakukannya kepadaku. Rasanya akan puas bila bisa
tersenyum ketika melihat dia ditendang dari perusahaan, layaknya yang dia
lakukan dulu.
Mungkin sih, tapi aku gak mau menyianyiakan hidupku untuk memupuk
kebencian tiada akhir itu. Jadi, serahkan semua kepada Tuhan.
Mas Seto :
Iya deh… Aku terima dengan ikhlas. Susah deh,
mereka yang jahat-jahat bisa bertahan.
Aku : Mending
yang jahatnya tetap satu, Mas. Jangan bertambah satu.
Mas Seto :
Menghancurkan untuk menciptakan yang baru, Chaq. Karena harus ada recycling
untuk membuat yang baru.
Aku : …
Dan percakapan untuk topik ini pun aku
cukupkan, dengan permainan kata aku alihkan percakapan ini kembali menjadi percakapan
dua orang sahabat yang terlihat lebih “biasa”. Percakapan berlanjut hingga
menjelang kumandang adzan magrib untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya.
…
Jarum menit sudah tinggal landas beberapa
derajat di hari yang baru ini, selepas menelepon kekasih tercinta dan ditemani
secangkir teh hangat produksi Om Bino (sahabatku), dan aku pun kembali
membuka-buka kembali history
percakapanku dan Mas Seto tadi sore. Tiap entry
aku baca dengan detil dan aku turut merasakan emosi yang bersembunyi di balik
tiap hurufnya.
Kupejamkan mata diantara sila kedua kakiku.
Dinginnya lantai dari balik sajadah kurasakan merayap di sepanjang tubuh hingga
lobus parietal cerebro-ku. Otakku menerjemahkan secara otonom
kilasan-kilasan yang datang simultan. Seakan berusaha mem-visualisasikan emosi
tiap kata-kata yang dikirimkan Mas Seto kepadaku.
“Seorang wanita paruh baya mengenakan
pakaian berbahan katun sintetik dan blazer branded,
yang berjalan di antara belukar yang tumbuh di sebuah sabana kering. Sambil
membabat belukar-belukar yang menyangkut di kakinya dengan sebilah belati
berkarat”.
Sebelumnya aku memang telah mengetahui
masalah yang menimpa Mas Seto. Tentang atasannya yang merupakan seorang wanita
paruh baya yang memiliki personality kurang
menyenangkan. Tentang konflik-konflik yang Mas Seto alami, maupun tentang sikap
atasannya kepada bawahannya yang lain. Memang kuakui bukan hal yang
menyenangkan apabila berada dalam lingkungan kerja yang demikian.
Namun dari chronometry yang datang turut melengkapi puzzle yang hilang dari
kasus yang dialami Mas Seto. Beberapa fakta (yang juga telah diamini oleh Mas
Seto setelah itu), bahwa atasannya memiliki krisis cinta dan penerimaan diri.
Betapa masa muda yang pahit dan penuh penolakan ia lewati. Bahkan rahimnya pun
sepi dari mekanisme biologis antara dua sel adam-hawa di umur yang menginjak
setengah zaman.
Beberapa fakta tersebut turut berkontribusi
dalam membangun karakter keras dan kurangnya kepekaan terhadap perasaan
orang-orang di sekelilingnya. Yang ia rasakan dan tertanam dalam alam bawah
sadarnya, adalah semua orang mengalami fase seperti dia dan mampu diperlakukan layaknya
menebas belukar-belukar yang membelit kakinya. Dan Mas Seto salah satu dari
sekian orang yang tertebas belatinya.
Aku jadi teringat suatu kutipan dari komik
Naruto:
“Perang akan menyisakan pedih dan
kebencian. Membalas dengan kebencian hanya akan melahirkan kebencian lainnya”.
Hal ini berkorelasi dengan kasus yang
menimpa Mas Seto.
1. Akankah dengan membalas kepada orang
yang berbuat dzolim kepada kita dapat memutus lingkaran kebencian ini?
2. Sekalipun kita diberi kemampuan
membalas, yakinkah bahwa pembalasan yang kita lakukan akan adil?
3. Bukankah perbuatan yang berdasarkan
kebencian dan pembalasan dendam justru akan membuat dendam baru?
4. Apakah benar “menghancurkan untuk
menciptakan yang baru” itu berlaku dalam hukum sosial?
Sedikit demi sedikit terbuka jawaban atas
pertanyaan lainku tentang bersabar dan ikhlas menjalani skenario-Nya.
***