Senin, 06 Februari 2012

CHRONOMETRY I: EPOCH MASTERPIECE

Chronometer
- Jam: 13.00 WIB. Minggu, 5 Februari 2012
- Cuaca: cerah terik,
- Lokasi: my private room


Lagi beberes meja kerja di Minggu yang terik begini, tiba2 gue nemuin 1 dari lukisan pensil yang masih gue keep di portofolio gue. Tiba-tiba teringat seseorang yang mengajarkan gue melukis real menggunakan pensil.  Beliau bernama Pak Nadrial, Guru Seni Rupa gue semasa SMP. Di antara semua guru di masa itu, beliau termasuk guru yang killer sekaligus paling gaul (baca: trendy).

Kesan pertama terhadap beliau begitu menginjak kelas 2 SMP, dimana sebelum mata pelajaran seni rupa anak-anak sekelas udah sibuk ngomongin tentang dia. Well, setelah melewati 1,5 jam pelajarannya begitu adanya. Terlepas dari sugesti dan kenyataan beliau memang punya aura yg kuat sebagai guru seni rupa.

Kesan berikutnya yang teramat menohok adalah ketika karya lukis gradasi warna gue (yang dikerjakan semalam-suntuk) dirobek jadi dua di depan mata sendiri, dan teronggok lesu di sudut meja belajar. Bagi gue yang doyan gambar dan mencintai seni, hal ini terasa 2x lebih menonjok ketimbang temen gue yang-doyan-doyan-main-final-fantasy di PS (Playstation). Karena bagi gue saat itu, inilah saat mengaktualisasikan diri hobi gue sejak TK (taman kanak-kanak). Dari sejak saat itu gue berjuang keras, sama kerasnya dengan belajar Fisika.

Minggu demi minggu tugas, tugas gue gak lagi dirobek. Yah lumayan walau dapat nilai 7,1 di saat yang lain kebanyakan dapat 6,3. Progressnya gak melulu naik, kadang turun lalu naik lagi. Sampai saat gue mulai terbiasa dengan ritmenya dan beberapa karya gue pernah masuk ke lemari koleksi sekolah yang terletak di lobi depan.

Salah satu jenis tugas yang paling berkesan karena achievementnya adalah tugas Lukisan Pensil yang dia kasih di Cawu (Catur Wulan) ke-2 kelas 3 SMP. Kali ini beda dari tugas-tugas sebelumnya, jangka waktu yang diberikan adalah 2 minggu. Terkesan cukup berat dibandingkan tugas sebelum-sebelumnya, karena "amunisi" yang harus disiapkan juga cukup kompleks.

Persiapan yang dilakukan setidaknya memerlukan waktu paling sedikit 2 hari. Mulai dari beli kertas Padalarang, penghapus pensil-pulpen yang harus dipotong zig-zag di kedua ujungnya, Pensil 6B yang dibagi-dua-dan-diserut-granitnya, penggaris butterfly transparan, kapas kecantikan yang halus, hingga kertas koran yang digulung-rapet hingga membentuk pinsil padat (belakangan gue kenal dengan nama Tortillon).

Objek yang akan digambar adalah pasfoto yang dicetak ukuran 4R. Kemudian dibuat grid kotak-kotak 1 x 1 cm dari sumbu tengah XY. Gunanya sebagai skala perbandingan dengan kertas kanvas (Padalarang). Ini metode skala untuk mereka yang baru belajar (menurut Pak Nadrial). Akhirnya gue memutuskan untuk menggunakan pasfoto gue sendiri sebagai objek lukisan pensil.

Pengerjaan lukisan setidaknya memerlukan waktu 3 hari, karena saat itu gue bener-bener technically dan tidak melibatkan feeling (yang nantinya gue temukan saat gue kuliah). Gue juga sempat meminta penilaian bokap dan nyokap "apa sudah mirip dengan fotonya?". Well, dengan beberapa penilaian dan teknik yang gue rasa cukup optimal dari apa yang gue pelajari, akhirnya selesai juga "masterpiece" pertama gue itu.

...

Tepatnya seminggu setelah hari pengumpulan, kira-kira pagi. Adrenalin gue seakan melonjak, ketika melihat karya lukisan pensil gue itu bercokol paling depan di lemari koleksi seni sekolah. Dan di pojok kanan bawah lukisannya (dekat dengan tandatangan dan tanggal penyelesaian) terdapat nilai karya dan komentar Pak Nadrial. Dengan sunggingan senyum sumringah gue berseri-seri melihat angka 9,5 dan kata-kata biasa yang terbaca mantab, "Good Job!".

Gue yang masih berdiri dan masih menggendong ransel, disadarkan oleh tepukan seorang kawan yang turut memberikan selamat. Oh God, itu hari terindah dan gak bisa gue lupakan saat ini. Yah setidaknya lukisan itu tetap duduk manis di lemari koleksi itu sampai hari terakhir gue menginjakkan kaki di SMP. Bukan ketenaran ataupun pujian yang membuat gue puas, tapi kepuasan batin karena dapat menepati janji kepada diri sendiri.

Sebuah kontemplasi yang gue sadari beberapa waktu ini, bahwa ketika kita dapat memanage ego, tenyata hasil yang didapat sering kali lebih dari apa yang kita targetkan. Sebuah ego pribadi yang mencambuk diri untuk lebih laju.


...

Dan life goes on, sejak saat itu gue gak pernah menyentuh dan membuat karya lukis pensil lagi, hingga sampai saat dimana sahabat gue (Fajar, 25th) mulai belajar lukis pensil (2007). Gue yang sering ngejam bareng sama dia jadi tertantang untuk mencoba membuat karya. Yah, jadi sebuah reuni dengan chronometry gue saat itu.

Sejak saat ngejams lukis pensil tersebut, gue jadi lebih sering menghasilkan karya. Gak jarang juga muncul orderan lukis dari beberapa kolega dan teman. Dari segi kualitas memang gak bisa disejajarkan dengan para seniman yang jam terbangnya tinggi, tapi di kesempatan ini gue mau coba menampilkan beberapa diantaranya (yang berhasil gue dokumentasikan).

Check this out, Chronofellaz !




Model: Widya Asriana (Mahasiswi Psikologi UI).
Model: dr. Arsa (RS Harapan Kita), by order.

Model: Citra (Mahasiswa Trisakti).


Model: dr. Dhamaranti ( RS Harapan Kita), by order.

Model: Mr. X (dokter dari Surabaya), by order Mrs. X.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar