Kamis, 09 Februari 2012

CHRONOMETRY II: CYCLE OF HATRED


Chronometer:
- Senin, 6 Februari 2012. 17.30 WIB
- Hari yang Cerah
- Lokasi: Private Room

Aku menghempaskan badan di kasur sambil menikmati timbunan asam laktat di sela-sela seluruh ototku.

Kupejamkan mata sejenak guna merelaksasikan syaraf-syaraf mata dan otak yang kueksploitasi seharian untuk menerjemahkan gemulai grafik penjualan perusahaan yang tinggal landas.


*tring tring!!*

Bunyi Blackberry Messager® (BBM) menarikku kembali dari alam bawah sadar. Kugapai Blackberry (BB) yang kuletakan di meja kecil di sebelah kasurku sambil beranjak duduk dan membaca isi BBM yang masuk.

Ternyata dari Mas Seto (nama disamarkan), seorang sahabat yang berdomisili di Surabaya. Beliau berusia 8 tahun lebih tua dariku, dan baru saja di-PHK dari perusahaan tempat ia bekerja. Belakangan ini kami sering berdiskusi berbagai macam hal. Salah satunya mengenai hakikat diri dan kehidupan.

Percakapan aku sesuaikan dari bahasa BBM aslinya (tidak disingkat-singkat dan tulisan dibuat normal), agar mudah dibaca.

Mas Seto         : Chaq dimana?
Aku                 : Di kamar, mas.
Mas Seto         : Aku pengen ngancurin kantorku yang kemarin sampai bangkrut. Kira-kira gimana menurut kamu?

Aku terdiam sejenak dan mengernyitkan dahi. Bagiku agak ajaib pernyataan sekaligus pernyataan dia.

Aku                 : Mas sudah tahu jawabanku apa.
Mas Seto         : Hm…Terus bagaimana enaknya?
Aku                 : Kenapa power ga digunakan utuk sesuatu yang lebih membangun?
Mas Seto         : Hm…Gitu ya? Oke…oke…
Aku                 : Aku rasa menghancurkan itu mudah mas. Kalau jalan seperti ini aku tempuh, Ditya dari kemarin sudah saya habisi. Sekalipun aku tidak dapat menggunakan cara-cara supranatural.
Mas Seto         : Intinya kamu mau bicara bahasa lain, “lupakan yang sudah-sudah dan lihat ke depannya, gitu khan?
Aku                 : Aku berfikir, ketika suatu bulldozer menghancurkan gedung hanya dalam 1 jam saja. Tapi membangunnya kembali butuh waktu lebih dari 1 bulan.
Mas Seto         : ya ya ya ya…Aku lagi suntuk soalnya. Maap, maap, maap…
Aku                 : Saya lebih memilih membangun ketimbang  menghancurkan.
Mas Seto         : Jadi kita-kita ini dilarang “nge-kick” balik orang ya? Sampai kapan kita diam saja?
Aku                 : Kita ini cuma diminta menjadi messager koq, mas. Singkatnya “dakwatullah”. Kita diperbolehkan membalas, asal setimpal. Tapi who-knows yang kita balas akan setimpal atau tidak.
Sempat beberapa waktu yang lalu aku demikian kesal dan marah kepada mantan atasanku atas perlakukannya kepadaku. Rasanya akan puas bila bisa tersenyum ketika melihat dia ditendang dari perusahaan, layaknya yang dia lakukan dulu.
Mungkin sih, tapi aku gak mau menyianyiakan hidupku untuk memupuk kebencian tiada akhir itu. Jadi, serahkan semua kepada Tuhan.
Mas Seto         : Iya deh… Aku terima dengan ikhlas. Susah deh, mereka yang jahat-jahat bisa bertahan.
Aku                 : Mending yang jahatnya tetap satu, Mas. Jangan bertambah satu.
Mas Seto         : Menghancurkan untuk menciptakan yang baru, Chaq. Karena harus ada recycling untuk membuat yang baru.
Aku                 : …

Dan percakapan untuk topik ini pun aku cukupkan, dengan permainan kata aku alihkan percakapan ini kembali menjadi percakapan dua orang sahabat yang terlihat lebih “biasa”. Percakapan berlanjut hingga menjelang kumandang adzan magrib untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya.


Jarum menit sudah tinggal landas beberapa derajat di hari yang baru ini, selepas menelepon kekasih tercinta dan ditemani secangkir teh hangat produksi Om Bino (sahabatku), dan aku pun kembali membuka-buka kembali history percakapanku dan Mas Seto tadi sore. Tiap entry aku baca dengan detil dan aku turut merasakan emosi yang bersembunyi di balik tiap hurufnya.

Kupejamkan mata diantara sila kedua kakiku. Dinginnya lantai dari balik sajadah kurasakan merayap di sepanjang tubuh hingga lobus parietal cerebro-ku. Otakku menerjemahkan secara otonom kilasan-kilasan yang datang simultan. Seakan berusaha mem-visualisasikan emosi tiap kata-kata yang dikirimkan Mas Seto kepadaku.
  
“Seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian berbahan katun sintetik dan blazer branded, yang berjalan di antara belukar yang tumbuh di sebuah sabana kering. Sambil membabat belukar-belukar yang menyangkut di kakinya dengan sebilah belati berkarat”.

Sebelumnya aku memang telah mengetahui masalah yang menimpa Mas Seto. Tentang atasannya yang merupakan seorang wanita paruh baya yang memiliki personality kurang menyenangkan. Tentang konflik-konflik yang Mas Seto alami, maupun tentang sikap atasannya kepada bawahannya yang lain. Memang kuakui bukan hal yang menyenangkan apabila berada dalam lingkungan kerja yang demikian.

Namun dari chronometry yang datang turut melengkapi puzzle yang hilang dari kasus yang dialami Mas Seto. Beberapa fakta (yang juga telah diamini oleh Mas Seto setelah itu), bahwa atasannya memiliki krisis cinta dan penerimaan diri. Betapa masa muda yang pahit dan penuh penolakan ia lewati. Bahkan rahimnya pun sepi dari mekanisme biologis antara dua sel adam-hawa di umur yang menginjak setengah zaman.

Beberapa fakta tersebut turut berkontribusi dalam membangun karakter keras dan kurangnya kepekaan terhadap perasaan orang-orang di sekelilingnya. Yang ia rasakan dan tertanam dalam alam bawah sadarnya, adalah semua orang mengalami fase seperti dia dan mampu diperlakukan layaknya menebas belukar-belukar yang membelit kakinya. Dan Mas Seto salah satu dari sekian orang yang tertebas belatinya.

http://dieyou.files.wordpress.com/2010/12/hatred.jpg

Aku jadi teringat suatu kutipan dari komik Naruto:

“Perang akan menyisakan pedih dan kebencian. Membalas dengan kebencian hanya akan melahirkan kebencian lainnya”.

Hal ini berkorelasi dengan kasus yang menimpa Mas Seto.

1. Akankah dengan membalas kepada orang yang berbuat dzolim kepada kita dapat memutus lingkaran kebencian ini?

2. Sekalipun kita diberi kemampuan membalas, yakinkah bahwa pembalasan yang kita lakukan akan adil?

3. Bukankah perbuatan yang berdasarkan kebencian dan pembalasan dendam justru akan membuat dendam baru?

4. Apakah benar “menghancurkan untuk menciptakan yang baru” itu berlaku dalam hukum sosial?

Sedikit demi sedikit terbuka jawaban atas pertanyaan lainku tentang bersabar dan ikhlas menjalani skenario-Nya.

 

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar