Jumat, 10 Februari 2012

TIPS: Tumis Sawi Putih Buatan Papa

Malam Jumat tepatnya ketika gue menulis entry ini.

Tepatnya saat adik dan bokap lagi menonton Masih Dunia Lain. Hehe, Indonesia sekali yah, yang horor dan gaib-gaib laris manis. Lantas yang edukatif dan mencontohkan nilai-nilai luhur bangsa malah dipandang remeh. Cuma yang niat nonton aja yang menyaksikan.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgi1PR-aSDDdPQVyLaXfdLAPNlevgGsKg4gvJ-GFcb-yRg-Dt-E9A3RgEyaXqgjHX4bkvb6uq_8L65tTe-dePbBSv_8uv8MAC1qUjcGp18kXbmltmjNW9ee1oPi2Vbc0-Yvw_UnphrH5lY/s1600/28-07-10_1246.jpg
Well, bukan itu sih yang mau gue post. Tapi "sesuatu" yang yummy di lidah, nendang di perut, dan pastinya gak ngancurin Program Hemat Carbo dan Lipid gue. Yes, persis kayaq yang ada di judul, this is Tumis-Sawi-Putih-ala-chef-Bagus (Baca: Bagus tuh nama BokAp).
Akhirnya gue paham, sawi putih seonggok yang gue liat tadi sore di kulkas itu, akan berakhir manis di meja makan sebagai bahan eksperimen bokap. Terlepas dari itu, ternyata sawi putih itu merupakan salah satu sayuran yang baik untuk pencernaan.


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh032sVqY4NykmtJHuvr6v8i_IdaqF6-eS0wK9r7NO0Ie0oYOVSpi0rqCKNXGQ4wV07siVRnjW28Oc992I_uMo8ra7zhpdg-R0IcyOuUER-r9hW0cfJpU2Zh84fQKQ8QrML0YVDtUYbCqmj/s1600/sawi1.jpgMenurut literatur yang gue baca, Sawi Putih adalah sayuran kaya serat dengan kadar air yang tinggi. Sawi putih juga mengandung antioksidan, zat yang mampu mencegah penyakit kanker. Sawi putih dapat juga melancarkan membuang air besar dan menghambat pertumbuhan tumor karena mengandung serat yang cukup. Oleh karena itu sawi putih merupakan pilihan makanan yang baik untuk berdiet. Kalori yang rendah berkisar 25 kkal/100 gr dan juga mengandung banyak vitamin dan mineral, seperti potasium, kalsium, mangan, zat besi, seng, fosfor, boron, nitrat, betakaroten, vitamin C, E, K, B1, B2, B6,  asam folat dan nicotinamide.

(sumber: http://www.menudiet.info/detail_blog.php?id_blog=16).


Dari komposisi yang gue tanya dari bokap, ternyata cukup simpel.
Sawi putih 1 onggok + putih telur ayam (untuk asupan protein) + Bumbu-bumbu dasar (bawang merah, bawang putih, garam, dan penyedap kaldu sapi).

Semuanya ditumis seperti layaknya menumis sayuran. Tekstur sayurnya nanti mirip seperti capcay, dengan aroma yang lebih user-friendly :D.

Walhasil, niat gue untuk makan nasi goreng jam segini terpatahkan juga dengan adanya si Tumis-Sawi-Putih-ala-chef-Bagus. Thanks Dad for the cuisine.

Kamis, 09 Februari 2012

CHRONOMETRY II: CYCLE OF HATRED


Chronometer:
- Senin, 6 Februari 2012. 17.30 WIB
- Hari yang Cerah
- Lokasi: Private Room

Aku menghempaskan badan di kasur sambil menikmati timbunan asam laktat di sela-sela seluruh ototku.

Kupejamkan mata sejenak guna merelaksasikan syaraf-syaraf mata dan otak yang kueksploitasi seharian untuk menerjemahkan gemulai grafik penjualan perusahaan yang tinggal landas.


*tring tring!!*

Bunyi Blackberry Messager® (BBM) menarikku kembali dari alam bawah sadar. Kugapai Blackberry (BB) yang kuletakan di meja kecil di sebelah kasurku sambil beranjak duduk dan membaca isi BBM yang masuk.

Ternyata dari Mas Seto (nama disamarkan), seorang sahabat yang berdomisili di Surabaya. Beliau berusia 8 tahun lebih tua dariku, dan baru saja di-PHK dari perusahaan tempat ia bekerja. Belakangan ini kami sering berdiskusi berbagai macam hal. Salah satunya mengenai hakikat diri dan kehidupan.

Percakapan aku sesuaikan dari bahasa BBM aslinya (tidak disingkat-singkat dan tulisan dibuat normal), agar mudah dibaca.

Mas Seto         : Chaq dimana?
Aku                 : Di kamar, mas.
Mas Seto         : Aku pengen ngancurin kantorku yang kemarin sampai bangkrut. Kira-kira gimana menurut kamu?

Aku terdiam sejenak dan mengernyitkan dahi. Bagiku agak ajaib pernyataan sekaligus pernyataan dia.

Aku                 : Mas sudah tahu jawabanku apa.
Mas Seto         : Hm…Terus bagaimana enaknya?
Aku                 : Kenapa power ga digunakan utuk sesuatu yang lebih membangun?
Mas Seto         : Hm…Gitu ya? Oke…oke…
Aku                 : Aku rasa menghancurkan itu mudah mas. Kalau jalan seperti ini aku tempuh, Ditya dari kemarin sudah saya habisi. Sekalipun aku tidak dapat menggunakan cara-cara supranatural.
Mas Seto         : Intinya kamu mau bicara bahasa lain, “lupakan yang sudah-sudah dan lihat ke depannya, gitu khan?
Aku                 : Aku berfikir, ketika suatu bulldozer menghancurkan gedung hanya dalam 1 jam saja. Tapi membangunnya kembali butuh waktu lebih dari 1 bulan.
Mas Seto         : ya ya ya ya…Aku lagi suntuk soalnya. Maap, maap, maap…
Aku                 : Saya lebih memilih membangun ketimbang  menghancurkan.
Mas Seto         : Jadi kita-kita ini dilarang “nge-kick” balik orang ya? Sampai kapan kita diam saja?
Aku                 : Kita ini cuma diminta menjadi messager koq, mas. Singkatnya “dakwatullah”. Kita diperbolehkan membalas, asal setimpal. Tapi who-knows yang kita balas akan setimpal atau tidak.
Sempat beberapa waktu yang lalu aku demikian kesal dan marah kepada mantan atasanku atas perlakukannya kepadaku. Rasanya akan puas bila bisa tersenyum ketika melihat dia ditendang dari perusahaan, layaknya yang dia lakukan dulu.
Mungkin sih, tapi aku gak mau menyianyiakan hidupku untuk memupuk kebencian tiada akhir itu. Jadi, serahkan semua kepada Tuhan.
Mas Seto         : Iya deh… Aku terima dengan ikhlas. Susah deh, mereka yang jahat-jahat bisa bertahan.
Aku                 : Mending yang jahatnya tetap satu, Mas. Jangan bertambah satu.
Mas Seto         : Menghancurkan untuk menciptakan yang baru, Chaq. Karena harus ada recycling untuk membuat yang baru.
Aku                 : …

Dan percakapan untuk topik ini pun aku cukupkan, dengan permainan kata aku alihkan percakapan ini kembali menjadi percakapan dua orang sahabat yang terlihat lebih “biasa”. Percakapan berlanjut hingga menjelang kumandang adzan magrib untuk wilayah Tangerang dan sekitarnya.


Jarum menit sudah tinggal landas beberapa derajat di hari yang baru ini, selepas menelepon kekasih tercinta dan ditemani secangkir teh hangat produksi Om Bino (sahabatku), dan aku pun kembali membuka-buka kembali history percakapanku dan Mas Seto tadi sore. Tiap entry aku baca dengan detil dan aku turut merasakan emosi yang bersembunyi di balik tiap hurufnya.

Kupejamkan mata diantara sila kedua kakiku. Dinginnya lantai dari balik sajadah kurasakan merayap di sepanjang tubuh hingga lobus parietal cerebro-ku. Otakku menerjemahkan secara otonom kilasan-kilasan yang datang simultan. Seakan berusaha mem-visualisasikan emosi tiap kata-kata yang dikirimkan Mas Seto kepadaku.
  
“Seorang wanita paruh baya mengenakan pakaian berbahan katun sintetik dan blazer branded, yang berjalan di antara belukar yang tumbuh di sebuah sabana kering. Sambil membabat belukar-belukar yang menyangkut di kakinya dengan sebilah belati berkarat”.

Sebelumnya aku memang telah mengetahui masalah yang menimpa Mas Seto. Tentang atasannya yang merupakan seorang wanita paruh baya yang memiliki personality kurang menyenangkan. Tentang konflik-konflik yang Mas Seto alami, maupun tentang sikap atasannya kepada bawahannya yang lain. Memang kuakui bukan hal yang menyenangkan apabila berada dalam lingkungan kerja yang demikian.

Namun dari chronometry yang datang turut melengkapi puzzle yang hilang dari kasus yang dialami Mas Seto. Beberapa fakta (yang juga telah diamini oleh Mas Seto setelah itu), bahwa atasannya memiliki krisis cinta dan penerimaan diri. Betapa masa muda yang pahit dan penuh penolakan ia lewati. Bahkan rahimnya pun sepi dari mekanisme biologis antara dua sel adam-hawa di umur yang menginjak setengah zaman.

Beberapa fakta tersebut turut berkontribusi dalam membangun karakter keras dan kurangnya kepekaan terhadap perasaan orang-orang di sekelilingnya. Yang ia rasakan dan tertanam dalam alam bawah sadarnya, adalah semua orang mengalami fase seperti dia dan mampu diperlakukan layaknya menebas belukar-belukar yang membelit kakinya. Dan Mas Seto salah satu dari sekian orang yang tertebas belatinya.

http://dieyou.files.wordpress.com/2010/12/hatred.jpg

Aku jadi teringat suatu kutipan dari komik Naruto:

“Perang akan menyisakan pedih dan kebencian. Membalas dengan kebencian hanya akan melahirkan kebencian lainnya”.

Hal ini berkorelasi dengan kasus yang menimpa Mas Seto.

1. Akankah dengan membalas kepada orang yang berbuat dzolim kepada kita dapat memutus lingkaran kebencian ini?

2. Sekalipun kita diberi kemampuan membalas, yakinkah bahwa pembalasan yang kita lakukan akan adil?

3. Bukankah perbuatan yang berdasarkan kebencian dan pembalasan dendam justru akan membuat dendam baru?

4. Apakah benar “menghancurkan untuk menciptakan yang baru” itu berlaku dalam hukum sosial?

Sedikit demi sedikit terbuka jawaban atas pertanyaan lainku tentang bersabar dan ikhlas menjalani skenario-Nya.

 

***

Senin, 06 Februari 2012

CHRONOMETRY I: EPOCH MASTERPIECE

Chronometer
- Jam: 13.00 WIB. Minggu, 5 Februari 2012
- Cuaca: cerah terik,
- Lokasi: my private room


Lagi beberes meja kerja di Minggu yang terik begini, tiba2 gue nemuin 1 dari lukisan pensil yang masih gue keep di portofolio gue. Tiba-tiba teringat seseorang yang mengajarkan gue melukis real menggunakan pensil.  Beliau bernama Pak Nadrial, Guru Seni Rupa gue semasa SMP. Di antara semua guru di masa itu, beliau termasuk guru yang killer sekaligus paling gaul (baca: trendy).

Kesan pertama terhadap beliau begitu menginjak kelas 2 SMP, dimana sebelum mata pelajaran seni rupa anak-anak sekelas udah sibuk ngomongin tentang dia. Well, setelah melewati 1,5 jam pelajarannya begitu adanya. Terlepas dari sugesti dan kenyataan beliau memang punya aura yg kuat sebagai guru seni rupa.

Kesan berikutnya yang teramat menohok adalah ketika karya lukis gradasi warna gue (yang dikerjakan semalam-suntuk) dirobek jadi dua di depan mata sendiri, dan teronggok lesu di sudut meja belajar. Bagi gue yang doyan gambar dan mencintai seni, hal ini terasa 2x lebih menonjok ketimbang temen gue yang-doyan-doyan-main-final-fantasy di PS (Playstation). Karena bagi gue saat itu, inilah saat mengaktualisasikan diri hobi gue sejak TK (taman kanak-kanak). Dari sejak saat itu gue berjuang keras, sama kerasnya dengan belajar Fisika.

Minggu demi minggu tugas, tugas gue gak lagi dirobek. Yah lumayan walau dapat nilai 7,1 di saat yang lain kebanyakan dapat 6,3. Progressnya gak melulu naik, kadang turun lalu naik lagi. Sampai saat gue mulai terbiasa dengan ritmenya dan beberapa karya gue pernah masuk ke lemari koleksi sekolah yang terletak di lobi depan.

Salah satu jenis tugas yang paling berkesan karena achievementnya adalah tugas Lukisan Pensil yang dia kasih di Cawu (Catur Wulan) ke-2 kelas 3 SMP. Kali ini beda dari tugas-tugas sebelumnya, jangka waktu yang diberikan adalah 2 minggu. Terkesan cukup berat dibandingkan tugas sebelum-sebelumnya, karena "amunisi" yang harus disiapkan juga cukup kompleks.

Persiapan yang dilakukan setidaknya memerlukan waktu paling sedikit 2 hari. Mulai dari beli kertas Padalarang, penghapus pensil-pulpen yang harus dipotong zig-zag di kedua ujungnya, Pensil 6B yang dibagi-dua-dan-diserut-granitnya, penggaris butterfly transparan, kapas kecantikan yang halus, hingga kertas koran yang digulung-rapet hingga membentuk pinsil padat (belakangan gue kenal dengan nama Tortillon).

Objek yang akan digambar adalah pasfoto yang dicetak ukuran 4R. Kemudian dibuat grid kotak-kotak 1 x 1 cm dari sumbu tengah XY. Gunanya sebagai skala perbandingan dengan kertas kanvas (Padalarang). Ini metode skala untuk mereka yang baru belajar (menurut Pak Nadrial). Akhirnya gue memutuskan untuk menggunakan pasfoto gue sendiri sebagai objek lukisan pensil.

Pengerjaan lukisan setidaknya memerlukan waktu 3 hari, karena saat itu gue bener-bener technically dan tidak melibatkan feeling (yang nantinya gue temukan saat gue kuliah). Gue juga sempat meminta penilaian bokap dan nyokap "apa sudah mirip dengan fotonya?". Well, dengan beberapa penilaian dan teknik yang gue rasa cukup optimal dari apa yang gue pelajari, akhirnya selesai juga "masterpiece" pertama gue itu.

...

Tepatnya seminggu setelah hari pengumpulan, kira-kira pagi. Adrenalin gue seakan melonjak, ketika melihat karya lukisan pensil gue itu bercokol paling depan di lemari koleksi seni sekolah. Dan di pojok kanan bawah lukisannya (dekat dengan tandatangan dan tanggal penyelesaian) terdapat nilai karya dan komentar Pak Nadrial. Dengan sunggingan senyum sumringah gue berseri-seri melihat angka 9,5 dan kata-kata biasa yang terbaca mantab, "Good Job!".

Gue yang masih berdiri dan masih menggendong ransel, disadarkan oleh tepukan seorang kawan yang turut memberikan selamat. Oh God, itu hari terindah dan gak bisa gue lupakan saat ini. Yah setidaknya lukisan itu tetap duduk manis di lemari koleksi itu sampai hari terakhir gue menginjakkan kaki di SMP. Bukan ketenaran ataupun pujian yang membuat gue puas, tapi kepuasan batin karena dapat menepati janji kepada diri sendiri.

Sebuah kontemplasi yang gue sadari beberapa waktu ini, bahwa ketika kita dapat memanage ego, tenyata hasil yang didapat sering kali lebih dari apa yang kita targetkan. Sebuah ego pribadi yang mencambuk diri untuk lebih laju.


...

Dan life goes on, sejak saat itu gue gak pernah menyentuh dan membuat karya lukis pensil lagi, hingga sampai saat dimana sahabat gue (Fajar, 25th) mulai belajar lukis pensil (2007). Gue yang sering ngejam bareng sama dia jadi tertantang untuk mencoba membuat karya. Yah, jadi sebuah reuni dengan chronometry gue saat itu.

Sejak saat ngejams lukis pensil tersebut, gue jadi lebih sering menghasilkan karya. Gak jarang juga muncul orderan lukis dari beberapa kolega dan teman. Dari segi kualitas memang gak bisa disejajarkan dengan para seniman yang jam terbangnya tinggi, tapi di kesempatan ini gue mau coba menampilkan beberapa diantaranya (yang berhasil gue dokumentasikan).

Check this out, Chronofellaz !




Model: Widya Asriana (Mahasiswi Psikologi UI).
Model: dr. Arsa (RS Harapan Kita), by order.

Model: Citra (Mahasiswa Trisakti).


Model: dr. Dhamaranti ( RS Harapan Kita), by order.

Model: Mr. X (dokter dari Surabaya), by order Mrs. X.

Sabtu, 04 Februari 2012

Inisiasi Penulis

Bismillahirrahmannirrahim…

"AtlanTea Cafe: Jouney into The Helical of Time" merupakan makroblog yang berisi kepingan-kepingan puzzle cerita penulis dari waktu ke waktu. Puzzle-puzzle tersebut berisi kisah-kisah pribadi, kontemplasi, motivasi, tips dan kesan-pesan penulis akan suatu peristiwa yang erat kaitannya dengan peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi

"Yeah, i’m just no one, but i can share you my dailycontemplation and creation".

So, nikmati Teh-nya dan semua yang ada, open mind dalam membaca.

Salam hangat penuh semangat!

Chaqville